Sawit Bukan Sekadar Minyak, Tapi Ladang Rejeki Baru Peternak

Jakarta – Kementerian Pertanian (Kementan) mendorong percepatan integrasi usaha peternakan sapi dengan perkebunan kelapa sawit sebagai strategi ganda untuk memenuhi kebutuhan protein hewani nasional sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar kebun. Langkah ini sejalan dengan Program Peningkatan Produksi Susu dan Daging Nasional (P2SDN) dan Peta Jalan Penambahan Populasi Ternak yang menargetkan lonjakan populasi sapi dan kerbau dalam lima tahun mendatang.
Dorongan ini kembali ditegaskan dalam audiensi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) dengan jajaran pimpinan Kementan di Kantor Pusat Kementan, Jakarta, Jumat (8/8). Pertemuan tersebut membahas peluang kolaborasi lintas subsektor guna mempercepat implementasi model integrasi sapi-sawit di berbagai daerah.
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Agung Suganda, menekankan bahwa keberhasilan program ini bergantung pada ketersediaan lahan dan dukungan investasi. “Integrasi sapi-sawit adalah win-win solution. Limbah sawit bisa diolah jadi pakan, biaya berkurang, dan masyarakat mendapat tambahan penghasilan dari ternak. Selain itu, pasokan daging dan susu domestik juga meningkat,” ujarnya.
Ketua GAPKI, Eddy Martono, menyambut baik peluang kerja sama ini. Menurutnya, implementasi Sistem Integrasi Sapi-Kelapa Sawit (SISKA) telah berjalan di sejumlah lokasi seperti Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur dengan hasil yang menjanjikan. “Kami melihat SISKA tidak hanya layak secara teknis dan ekonomi, tetapi juga memberi manfaat sosial yang besar bagi masyarakat sekitar perkebunan,” ungkapnya.
Peluang ini terbuka lebar melalui Peraturan Menteri Pertanian No. 18 Tahun 2021 tentang Fasilitasi Kebun Masyarakat Sekitar, yang mewajibkan perusahaan membangun kebun masyarakat minimal 20% dari luas areal. Menariknya, kebun masyarakat tidak harus berupa tanaman sawit, tetapi dapat berupa usaha peternakan sapi yang terintegrasi, sepanjang memberikan manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Model kemitraan menjadi kunci keberhasilan. Perusahaan perkebunan dapat menyediakan sapi serta sarana pendukung, sementara masyarakat mengelola pemeliharaan dengan pendampingan teknis dari dinas terkait. Skema ini telah dibuktikan melalui kajian Gabungan Pelaku dan Pemerhati Sistem Integrasi Sapi-Kelapa Sawit (GAPENSISKA) di Kalimantan Selatan, yang menunjukkan bahwa SISKA layak secara ekonomi dan sah secara regulasi untuk memenuhi kewajiban 20% plasma.
Plt. Dirjen Perkebunan, Abdul Roni, menambahkan bahwa integrasi ini juga menguntungkan bagi perusahaan. “Dengan skema ini, perusahaan bisa memenuhi kewajiban plasma secara legal serta membangun hubungan harmonis dengan masyarakat sekitar, sehingga meminimalkan potensi konflik lahan,” pungkasnya.
Selain mendukung ketahanan pangan, integrasi sapi-sawit membawa dampak positif bagi lingkungan. Kotoran sapi dapat diolah menjadi pupuk organik atau biogas, mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia, serta memperkuat komitmen sawit berkelanjutan.
Dengan dukungan regulasi, investasi, dan kemitraan yang saling menguntungkan, Kementan optimistis program ini akan menjadi motor penggerak ekonomi desa sekaligus memperkuat posisi Indonesia sebagai produsen kelapa sawit dan sapi potong yang berdaya saing tinggi.